~friendz 4ever~

~friendz 4ever~

Thursday 11 October 2012

ADAB-ADAB MEMBERI NASIHAT



Di antara adab memberi nasihat dalam Islam, yaitu menasihati saudaranya dengan tidak diketahui orang lain. Karena, barangsiapa menutupi keburukan saudaranya maka Allâh Ta'ala akan menutupi keburukannya di dunia dan akhirat. Sebagian ulama berkata, barangsiapa menasihati seseorang dan hanya ada mereka berdua, maka itulah nasihat yang sebenarnya.

Barangsiapa menasihati saudaranya di depan banyak orang maka yang demikian itu mencela dan merendahkan orang yang dinasihati. Fudhail bin Iyadh rahimahullâh berkata,

"Seorang mukmin, ialah orang yang menutupi aib dan menasihati. Sedangkan orang fasik, ialah orang yang merusak dan mencela."-sila rujuk Al-Wâfî fî Syarh al-Arba’în an-Nawawiyyah, hlm. 46.

Al-Imam Ibnu Hibbân rahimahullâh (wafat 354 H) berkata,

"Sebagaimana telah kami sebutkan, memberi nasihat merupakan kewajiban seluruh manusia, tetapi dalam cara menyampaikannya -tidak boleh tidak- harus secara rahasia. Karena, barangsiapa menasihati saudaranya di hadapan orang lain, berarti ia telah mencelanya. Dan barangsiapa yang menasihatinya secara rahasia, berarti ia telah memperbaikinya. Sesungguhnya menyampaikan dengan penuh perhatian kepada saudaranya sesama muslim adalah kritik yang membangun, lebih besar kemungkinannya untuk diterima daripada menyampaikan dengan maksud mencelanya."

Kemudian al-Imam Ibnu Hibban rahimahullâh menyebutkan dengan sanadnya sampai kepada Sufyan, ia berkata:

"Saya bertanya kepada Mis’ar, ‘Apakah engkau suka bila ada orang lain memberitahukan kekurangan-kekuranganmu?’
Ia menjawab, ’Apabila yang datang adalah orang yang memberitahukan kekurangan-kekuranganku dengan cara menjelek-jelekkanku, maka aku tidak senang. Tetapi bila yang datang kepadaku seorang pemberi nasihat, maka aku senang’.”

Abu Hatim (Imam Ibnu Hibban) rahimahullâh mengatakan,

”Nasihat, apabila dilakukan seperti apa yang telah kami sebutkan maka akan melanggengkan kasih sayang dan menjadi penyebab terwujudnya hak ukhuwah (persaudaraan).”-sila rujuk Raudhatul-‘Uqalâ’ wa Nuzhatul-Fudhalâ`, hlm. 176-177.

Al-Imam Abu Muhammad bin Ahmad bin Sa’id Ibnu Hazm rahimahullâh (wafat 456 H) berkata,

”Maka wajib bagi seseorang untuk selalu memberi nasihat, baik yang diberi nasihat itu suka maupun benci, tersinggung maupun tidak tersinggung. Apabila engkau memberikan nasihat maka sampaikan secara rahasia, jangan di hadapan orang lain dan cukup dengan memberikan isyarat, tanpa secara terus-terang. Kecuali, orang yang dinasihati tidak memahami isyaratmu maka harus secara terus-terang. Janganlah memberi nasihat dengan syarat harus diterima. Jika engkau melampaui batas adab-adab tersebut maka engkau orang yang zhalim, bukan pemberi nasihat, dan gila ketaatan serta gila kekuasaan, bukan pemberi amanat dan pelaksana hak ukhuwah. Ini bukanlah termasuk hukum akal dan hukum persahabatan, melainkan hukum rimba seperti seorang penguasa dengan rakyatnya, dan tuan dengan hamba sahayanya.”-sila rujuk Akhlâq was Siyar fî Mudâwâtin Nufûs (hal. 45).

Imam asy-Syafi’i rahimahullâh berkata dalam sya’irnya:

Tutupilah kesalahanku dengan nasihatmu ketika aku seorang diri.
Hindarilah menasihatiku di tengah khalayak ramai.
Karena memberikan nasihat di hadapan banyak orang.
Sama saja dengan memburuk-burukkan, aku tidak sudi mendengarnya.
Jika engkau menyalahiku dan tidak mengikuti ucapanku.
Maka janganlah engkau kaget bila nasihatmu tidak ditaati.-sila rujuk Diwân Imam asy-Syafi’i, dikumpulkan dan disusun oleh Muhammad ‘Abdur-Rahim, Darul-Fikr, hlm. 275.


No comments:

Post a Comment